Pengertian stakeholder dalam konteks ini adalah tokoh –
tokoh masyarakat baik formal maupun informal, seperti pimpinan pemerintahan
(lokal), tokoh agama, tokoh adat, pimpinan organisasi social dan seseorang yang
dianggap tokoh atau pimpinan yang diakui dalam pranata social budaya atau suatu
lembaga (institusi), baik yang bersifat tradisional maupun modern
Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah
dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks,
misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam,
sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas
istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak,
lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu
rencana. Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap
suatu issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu
stakeholder primer, sekunder dan stakeholder kunci.
1. Stakeholder Utama (Primer)
Stakeholder
utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai
penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
2. Stakeholder Pendukung
(Sekunder)
Stakeholder
pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki
kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan
berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
3. Stakeholder Kunci
Stakeholder
kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif
sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Stakeholder kunci untuk suatu keputusan
untuk suatu proyek level daerah kabupaten.
Bentuk dari
stakeholder bisa kita padukan dengan Bentuk
kemitraan dengan komite sekolah, dunia usaha, dan dunia industri (DUPI) dan
Industri Lainnya. Bentuk kemitraan yang dapat dilakukan oleh tenaga kependidikan dengan
stakeholder antara lain berupa :
1. Kerjasama dalam penggalangan dana pendidikan baik
untuk kepentingan proses pembelajaran, pengadaan bahan bacaan (buku), perbaikan
mebeuler sekolah, alat administrasi sekolah, rehabilitasi bengunan sekolah
maupun peningkatan kualitas guru itu sendiri.
2. Kerjasama penyelenggaraan kegiatan pada momen hari
– hari besar nasional dan keagamaan.
3. Kerjasama dengan sponsor perusahaan dalam rangka
meningkatkan kualitas gizi anak sekolah, seperti dengan perusahaan susu atau
makanan sehat bagi anak – anak sekolah, dan bentuk kemitraan lain yang sesuai
dengan kondisi setempat.
Stereotype,
Prejudice,
Stigma
Sosial
Stereotype adalah generalisasi yang tidak akurat yang
didasarkan pada prejudice. Kita semua memegang stereotype terhadap kelompok
orang lain.
Contoh dari Stereotype , ketika kita sudah beranggapan
begitu pada suatu suku , maka kita tidak akan menempatkan dia pada suatu posisi
yang kita rasa gak cocok.
Prejudice adalah attitude yang bersifat bahaya dan
didasarkan pada generalisasi yang tidak akurat terhadap sekelompok orang
berdasarkan warna kulit, agama,sex, umur , dll. Berbahaya disini maksudnya
attitude tersebut bersifat negative.
Contoh dari Prejudice misalnya kita menganggap setiap orang
pada suku tertentu itu malas, pelit , dan lain nya
Stigma sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu
kelompok karena kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang ada. Stigma
sosial sering menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok.
Contoh dari stigma social misalnya sejarah stigma sosial
dapat terjadi pada orang yang berbentuk fisik kurang atau cacat mental, dan
juga anak luar kawin, homoseksual atau pekerjaan yang merupakan nasionalisasi
pada agama atau etnis, seperti menjadi orang Yahudi atau orang Afrika Amerika.
Kriminalitas juga membawa adanya stigma sosial.
Mengapa Perusahaan Harus
Bertanggungjawab
Dalam perkembangan
industry di dunia, negara–negara utara ternyata lebih maju dalam percepatan
kemakmuran dari komunitasnya dan ini sangat di rasakan oleh negara–negara
selatan yang notabene adalah negara–negara penghasil. Kemudian ditelaah bahwa
terjadi trickle-down effect yang artinya bahwa hasil–hasil pembangunan
bagi negara–negara selatan lebih banyak di nikmati oleh beberapa gelintir
orang dari kelas–kelas tertentu saja sehingga lebih banyak menyengsarakan
sebagian besar individu dari komunitas kelas di bawahnya.
Dalam kenyataan, masih
banyak terdapat kesimpangsiuran dari penerapan ketiga konsep tersebut dan
bahkan cenderung saling tumpang tindih dan bertolak belakang. Maksudnya adalah
ketika menerapkan kebijakan ekonomi dan lingkungan akan tergantung pada
kebijakan social dari kelompok tertentu, sehingga tampak adanya ketidak
serasian antara negara satu dengan negara lainnya dalam menerapkan kebijakan
tersebut dan bahkan antara komunitas satu dengan komunitas lainnya dalam satu
negara mengalami perbedaan pemahaman, sehingga di perlukan adanya kerja sama
antar stakeholder.
Pengeluaran yang di lakukan oleh perusahaa untuk pembangunan
komunitas sekitarnya terkadang hanya bersifat formasilme/adhoc tanpa di landasi
semangat untuk memandirikan komunitas. Menurut The World Business Council For
Sustainable Development (WBCSD) di nyatakan bahwa Corporate Social
Responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerja denga para karyawan perusahaan, keluarga karyawa
tersebut, berikut komunitas – komunitas tempat (Lokal) dan komunitas secaara
berkeseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Komunitas Indonesia dan Etika
Bisnis
Dalam kehidupan komunitas atau komunitas secara umum, mekanismne pengawasan
terhadap tindakan anggota-anggota komunitas biasanya berupa larangan-larangan
dan sanksi-sanksi sosial yang terimplementasi di dalam aturan adat. Sehingga
tampak bahwa kebudayaanmenjadi sebuah pedoman bagi berjalannya
sebuah proses kehidupan komunitas ataukomunitas. Tindakan karyawan
berkenaan dengan perannya dalam pranata sosial perusahaandapat menen tukan
keberlangsungan aktivitas. Kelompok komunitas yang terarah
yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk bekerjadengan auditor sosial
dalam mereview. Pemeriksaan sosial dan mengambil tempat dalam pertemuan
review.
Komunitas bisnis menyadari betapa
pentingnya etika bisnis dijalankan sepenuh hati, maka langkah berikutnya adalah
berupaya terus-menerus tanpa kenal lelah meningkatkan kinerja etika bisnisya.
Untuk menopang langkah tersebut perlu dikaji terlebih dahulu unsur-unsur
pokoknya, sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perpaduan harmonis antara penetapan visi,
misi, dan tujuan organisasi dengan keberpihakan manajer puncak terhadap
nilai-nilai etikal yang berlaku.
2. Hadirnya profil ketangguhan karakter dan moralitas pribadi
sang manajer berikut para pekerjanya.
3. Kegigihan mengkristalisasikan nilai-nilai aktual seputar
kehidupan keseharian yang berkenaan dengan aturan-aturan tradisi, persepsi
kolektif masyarakat, dan kebiasaan-kebiasaan rutin praktik bisnis yang lazim
berlaku, untuk ‘dibenturkan’ dengan kecenderungan iklim etika saat itu, lalu
kemudian diadopsikan secara sistemik ke dalam perwujudan konsep-konsep
stratejikal dan taktikal demi capaian membentuk budaya organisasi yang unggul.
Dampak Tanggungjawab Sosial
Perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan, apabila dilaksanakan
dengan benar, akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan,
termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan
dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja,
mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli masyarakat, yang secara langsung
atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan seterusnya. Mengingat
kegiatan perusahaan itu sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan yang taat
lingkungan akan lebih bermakna.
Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan
sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan
maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun
demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan
dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan
lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai
negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang
bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau
seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari
kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang pada
satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan
bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi
sumber petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran
lingkungan atau bahkan menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan lain yang
lebih luas.
Mekanisme Pengawasan Tingkah Laku
Mekanisme dalam pengawasan terhadap
para karyawan sebagai anggota komunitas perusahaan dapat dilakukan
berkenaan dengan kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota tersebut denga
budaya yang dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan. Mekanisme pengawasan
tersebut berbentuk audit sosal sebagai kesimpulan dari monitoring dan evaluasi
yang dilakukan sebelumnya.
Monitoring da evaluasi terhadap
tingkah laku anggota suatu perusahaan atau organisasi pada dasarnya harus
dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan secara berkesinambugan.
Monitoring yang dilakuka sifatnya berjangka pendek sedangkan evaluasi terhadap
tingkah laku anggota perusahaan berkaitan dengan kebudayaan yang berlaku
dilakukan dalam jangka panjang. Hal dari evaluas tersebut menjadi audit sosial.
Berkaitan
dengan pelkasanaan audit sosial, maka sebuah perusahaan atau organisasi harus
jelas terlebih dahulu tentang beberapa aktivitas yang harus dijalankan seperti
:
a. Aktivitas apa saja yang harus
dilakukan sebagai sebuah orgnisasai, dalam hal ini sasaran apa yang menjadi
pokok dari perusahaan yang harus dituju internal maupun eksternal (sasaran).
b. Bagaimana cara melakukan
pencapaian dari sasaran yang dituju tersebut sebagai rangkaian suatu tindakan
(rencana tindakan) yang mengacu pada suatu pola dan rencana yang sudah disusun
sebelumnya.
c. Bagaimana mengukur dan merekam
pokok-pokok yang harus dilakukan berkaitan dengan sasaran yang dituju, dalam
hal ini keluasan dari kegiatan yang dilakukan tersebut (indikator)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar